Wednesday, October 19, 2011

Tip Presiden SBY Terpendam/ Kerja Keras(Prestasikan diri dengan Sukseskan Bakat Yang Terpendam/kerja keras)

tip Presiden SBY Terpendam/ Kerja Keras(Prestasikan diri dengan Sukseskan Bakat Yang Terpendam/kerja keras)
"Jenius adalah satu persen inspirasi dan keringat sembilan puluh sembilan persen." Kutipan yang terkenal dari Thomas Alva Edison bisa diucapkan oleh setiap murid dari seluruh dunia. Dan di sini datang pertanyaan kita, apa jalan menuju kesuksesan, bakat atau kerja keras? Apakah bodoh untuk bertanya seperti pertanyaan, yang telah dijawab dengan jelas oleh seorang pria yang diyakini menjadi salah satu orang yang paling sukses yang pernah dalam sejarah? Bukankah sudah jelas bahwa Edison adalah persis contoh yang paling meyakinkan?
Nah, jawabannya tidak, bahkan jika kita tahu bahwa ada seorang pria terkenal bernama Edison sudah menyimpulkan bahwa kerja keras beratnya lebih dari bakat  murni, bahkan jika kita semua akrab dengan cerita bahwa ia telah mencoba seribu macam bahan sebelum ia akhirnya membuat bola yang besar menyala, kita tidak benar-benar percaya. Kita telah melihat dalam banyak kasus bahwa orang hanya dicapai pekerjaan besar dengan sedikit usaha.Kami percaya bahwa mereka dilahirkan untuk menjadi lebih berbakat, dan kita adalah orang yang tersedot hanya karena kita tidak memiliki kualitas yang ditentukan oleh gen kita. 

Tapi apakah itu seluruh kebenaran? 

Setidaknya Edison tidak berpikir begitu, juga tidak banyak pria sukses lainnya dalam sejarah manusia. Sementara melihat kembali pada kehidupan yang luar biasa orang-orang itu, sebagian besar dari mereka berutang banyak kesuksesan mereka untuk bekerja keras. Mereka setuju bahwa, bakat, atau IQ dengan cara lain untuk mengatakan, perlu tetapi bukan faktor kunci. 

Salah satu guru saya yang paling dikagumi digunakan untuk memberitahu saya bahwa, cara terbaik untuk memiliki ide bagus adalah memiliki banyak ide. Tidak ada jenius seperti yang selalu bisa datang dengan cara terbaik, bahkan tanpa membuat kesalahan kecil. Sukses berdasarkan trial and error banyak. Namun dalam banyak kasus, bahkan jika seseorang memiliki nilai IQ yang tinggi, dia bisa berubah menjadi tidak ada karena mereka tidak dapat pergi melalui kesalahan, mereka tidak dapat menanggung mencoba! 

Mari kita lihat dua contoh, yang saya pribadi berpikir adalah dua orang paling cerdas dalam sejarah. 

Yang pertama adalah Leonardo Di Ser Piero Da Vinci, seniman besar dan ilmuwan dari Italia. Dia terkenal karena bakatnya dalam seni. Tapi kebanyakan dari kita tahu lebih banyak tentang dia dari Monalisa daripada dari buku teks ilmu pengetahuan kami. Sebenarnya dia juga seorang kontributor besar perkembangan ilmu pengetahuan di zamannya. Dia memiliki jangkauan sangat luas kepentingan, dan dia pernah belajar di begitu banyak bidang begitu dalam sehingga kita bahkan tidak bisa percaya bahwa mereka itu dilakukan oleh satu orang. 

Yang kedua adalah Albert Einstein , orang yang paling cerdas dalam sejarah diterima oleh banyak orang. Dia membuat keajaiban bangunan seluruh teori relativitas semua dengan sendiri. Para 
teori, yang bagi sebagian besar mahasiswa bahkan sulit untuk dimengerti, telah menjadi bagian dasar dari fisika modern. Newton telah membangun hukum-hukum fisika yang paling mendasar, yang, dalam sabdanya, didasarkan pada karya mantan raksasa. Namun, Einstein tidak tampaknya perlu itu. Dia menciptakan seluruh teori, hampir tanpa bantuan orang lain. 

Aku memilih pria dua karena mereka dianggap baik untuk memiliki IQ tertinggi dan memiliki pikiran paling kreatif dan produktif. Kontribusi mereka tidak bisa saja dibuat tanpa otak yang cukup cerdas. Di sisi lain, apakah kecerdasan yang luar biasa murni yang membuat mereka berbeda? Saya kira kebanyakan orang akan mengatakan tidak, karena ada begitu banyak faktor yang menentukan kesuksesan seseorang, termasuk beberapa aspek dari keluarga mereka dan masyarakat, dan bahkan beberapa jenis keberuntungan. Kerja keras, yang merupakan faktor penting, tidak membuat perbedaan besar dalam hidup mereka. Anda banyak tahu dari biografi Einstein bahwa ketika ia berada di sekolah, dia tidak di semua materi mahasiswa top, beberapa kali bahkan tampak bodoh. Namun, pada usia 16, ia mulai berpikir tentang pertanyaan Apa yang akan terjadi jika aku bisa melakukan perjalanan secepat cahaya, yang kemudian menjadi dasar penemuan besar?. Yah, hanya berpikir tentang apa yang kita pikirkan pada usia itu. Aku tahu mungkin ada sejumlah orang mempertimbangkan pertanyaan serupa, namun, berapa banyak dari Anda terus memikirkan itu sampai sekarang? Kita biasanya mengatakan butuh waktu Einstein hanya 2 minggu untuk mencapai persamaan akhir dari teori relativitas khusus, tapi saya pikir kita harus memperpanjang waktu itu untuk setidaknya sepuluh tahun, karena dia telah berpikir atas pertanyaan naif yang sama untuk beberapa tahun pertama . Kemudian mari kita lihat di Da Vinci. Dia memiliki sebuah notebook khusus dengan mana pun ia pergi. Buku ini untuk setiap inspirasi yang melompat ke dalam pikirannya, sehingga ia tidak akan melupakan mereka. Itulah yang sangat rahasia produktivitas yang luar biasa, dalam begitu banyak bidang. Rahasianya sebenarnya rahasia sama sekali ketika kita melihat kembali pada mereka, tapi mereka membuat usaha, sehingga mereka menang. Mari manfaatkan bakat terpendam kita.

Tip Revolusi Entrepreneur SDM Indonesia Majority

Melihat Indonesia hari ini tak ubahnya melihat sebuah sinetron yang mungkin saja berakhir sedih. Praktik-praktik penyelewengan yang dilakukan secara terang-terangan, harga bahan makanan pokok yang terus melambung, hingga ke masalah-masalah sosial yang seolah-olah tidak akan berujung.
Melihat masa depan Indonesia hari ini sama dengan berkaca pada cermin retak yang menampilkan wajah kita hanya dalam potongan tetapi masih memungkinkan untuk kita susun ulang agar menampilkan wajah kita dengan sempurna.

Analogi cermin ini mungkin sama dengan apa yang dialami Jepang pasca pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Peristiwa yang menjadi akhir dari legenda Perang Dunia ke 2 tersebut merupakan akhir dari jerih-payah bangsa Jepang yang membangun negaranya dengan susah-payah usai Restorasi Meiji. Peradaban mereka di kedua kota tersebut hancur total dengan menyisakan banyak korban yang sebenarnya tak berdosa. Kehidupan Jepang sebagai sebuah negara praktis hancur. Momentum tersebut adalah momentum memalukan di mana sebagai bangsa mereka harus menerima kekalahan.

Tetapi, bangsa ini ternyata adalah bangsa yang terpilih untuk membuat legenda-legenda. Kini Jepang bergulir pasti, tampil sebagai salah satu negara industri paling efisien. Produk Jepang sangat murah dengan teknologi yang tidak seberapa jauh bila dibandingkan produk-produk buatan Eropa bahkan Amerika Serikat sendiri—negara yang secara telak telah mengalahkan mereka dan mengawasi mereka dengan pangkalan militernya di Okinawa. Jepang membuktikan kepada dunia, bahwa dirinyalah yang menjadi negara yang mampu menguasai pasar Amerika dengan kehadiran produk-produk mereka. Bahkan, industri otomotif yang secara tradisi menjadi kebanggan Amerika Serikat—dengan Ford dan GM-nya—berhasil dilibas dengan barisan Toyota dan Lexus yang merajai pasar otomotif Amerika Serikat. Fenomena ini bahkan untuk mobil kelas mewah sekalipun dengan cerita Lexus yang sejatinya adalah mobil dengan “mesin Jepang” tetapi penampilan “Eropa”.

Bercerita tentang Jepang, tentu saja bercerita tentang semangat bushido mereka yang kuat ditanamkan sebagai konsekuensi dari budaya Samurai yang menjadi kekayaan nenek moyang mereka. Contoh nyata dari semua itu adalah cerita sukses Soichiro Honda yang hari ini seluruh keturunannya akan sangat terjamin dari bisnis Honda yang tersebar hampir di seluruh pelosok dunia. Lain Honda, lain pula Sakichi Toyoda. Klan keluarga ini dengan sangat meyakinkan mampu mentransformasi arah bisnis mereka dari pertekstilan menjadi rekayasa otomotif terbesar dunia yang belum terkalahkan hingga saat ini. Ada juga cerita tentang Konosuke Matsu%@!#$&a yang ketekunannya menjadikan Panasonic sebagai salah satu merek elektronik terkenal di dunia—langsung berhadapan dengan merek-merek besar seperti Philips, Westinghouse, GE, dan beberapa yang lain. Cerita-cerita sukses tersebut selalu bermuara pada satu terminal: mereka adalah teknokrat, pemikir masa depan, dan adalah seorang wirausaha!

Jadi, semangat kerja keras, ketekunan, atau bahkan intelektualitas tidak akan pernah menghasilkan apa-apa tanpa dilandasi dengan semangat kewirausahaan yang kuat. Bagaimana mungkin seorang Soichiro Honda bisa menjadikan namanya sendiri sebagai salah satu merek otomotif terbaik dunia tanpa dilandasi oleh semangat kemandirian dan kewirausahaan yang begitu kuat sehingga memungkinkan namanya menjadi salah satu merek kuat yang diakui secara multinasional?

Revolusi Kewirausahaan
Kemandirian. Inilah kata kunci yang menjadikan seseorang bersemangat untuk menatap masa depannya dengan tenang dan pasti. Independensi seperti inilah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia untuk bisa “menyusun kembali” cermin yang retak. Kemandirian ini akan diamplifikasi begitu besar melalui sebuah revolusi kewirausahaan. Sosialisasi kewirausahaan yang dibarengi dengan langkah nyata dan dalam jumlah yang besar sehingga menjadikan banyak orang kemudian melakukan perubahan di tempatnya masing-masing dalam sebuah koridor kewirausahaan.

Tetapi, berpikir tentang revolusi kewirausahaan juga tidak akan lengkap membicarakan tantangannya secara nyata di lapangan. Indonesia sebagai sebuah bangsa memiliki “penyakit kronis” yang menghinggapi kita sudah hampir berabad-abad. Penyakit tersebut adalah mental ambtenaar. Mental untuk menjadi pangreh praja, yang memiliki kekuasaan atas pemberian orang lain dan kemudian cenderung menghamba kepada orang yang memberikan kekuasaan. Mental inilah yang kemudian bermutasi menjadi mental gajian, mental pegawai, dan sebutan mental-mental lainnya yang berada di luar konteks kewirausahaan dan kemandirian.

Bila Anda tidak percaya kita memiliki mental seperti itu, lihatlah fakta di lapangan ketika penerimaan CPNS dibuka. Lowongan untuk ratusan PNS, pelamarnya mencapai jumlah ribuan. Tragisnya lagi, praktik kolusi penerimaan CPNS selalu tersiar. Hasilnya, ketika mereka memang benar-benar menjadi seorang PNS, segala macam “kesempatan” untuk menggenerasi uang mereka lakukan termasuk di dalamnya melakukan green collar crime seperti korupsi uang rakyat hingga kolusi.

Fakta tersebut kemudian masih ditambah dengan apresiasi negatif banyak orangtua terhadap pilihan anak mereka yang ingin menjadi seorang wirausaha. Mereka menganggap menjadi seorang wirausaha bagaikan menjala angin, membutuhkan modal besar, dan berbagai alasan lain yang intinya mencegah anak-anak mereka memasuki ranah tersebut. Mereka menganggap gaji setiap bulan, fasilitas sekelas manajer, bahkan tunjangan hari tua “lebih terhormat” ketimbang untung sehari yang kemudian diputar untuk modal selanjutnya.

Doktrin mereka tentu saja mengharapkan anaknya menjadi PNS atau setidaknya karyawan di perusahaan mapan baik perusahaan lokal ataupun multinasional. Mereka akan lebih bangga menyebut anaknya bekerja sebagai PNS ketimbang menyebut anaknya yang memiliki usaha kredit perabot rumah tangga keliling. Padahal, secara penghasilan, kedua anak tersebut tidak jauh berbeda bahkan mungkin lebih banyak yang kedua.

Inilah fakta-fakta yang mengindikasikan penurunan genetis mental ambtenaar. Gawatnya lagi, penurunan genetis ini didukung oleh desain pendidikan yang lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan generalis di banyak bidang ketimbang kemampuan spesialis. Orang pada desain pendidikan sebelumnya dipaksa hanya menjadi seorang generalis yang banyak mengetahui sesuatu tetapi tidak mendalam betul sebagai konsekuensi terlalu banyaknya materi yang dijejalkan ke otak peserta pendidikan.

Hasilnya, pendidikan kita hanya mencetak generasi yang unggul secara teoretis semata dengan kekurangan yang besar di sisi praktisnya. Mereka sangat pandai berwacana tetapi ketika diajak mengimplementasikannya, mereka mengalami sebuah kebingungan besar yang tentu saja bukan kesalahan mereka sendiri. Mereka dalah produk dari desain pendidikan yang lebih mengutamakan pengembangan otak kiri dengan jalan pemikiran yang rasional, logis, dan berurutan. Sedangkan, dunia yang terus berkembang menuntut pemikiran-pemikiran imajinatif yang selamanya tidak berdasarkan pengalaman teoretis a la sekolahan atau kampus semata.

Desain pendidikan yang salah tersebut, ternyata baru belakangan ini disadari oleh pemerintah. Kesadaran baru muncul ketika jumlah pengangguran sudah meningkat drastis dengan ratusan ribu di antaranya berkualifikasi sarjana. Departemen Pendidikan Nasional sebagai regulator di bidang pendidikan kemudian sibuk mempromosikan berbagai bentuk pendidikan link and match, basis vokasi, hingga ke penanaman kewirausahaan ke sekolah & kampus-kampus.

Pendidikan kejuruan juga distimulasi sedemikian rupa agar tampak setara dengan pendidikan menengah umum yang sebelumnya menjadi orientasi pembinaan kependidikan menengah. Ini semua dilakukan sebagai bentuk “pertanggungjawaban sosial” sang regulator yang ternyata regulasinya justru menjadi bumerang berganda bagi pekerjaan rumah bangsa.

Mengapa kita selalu terlambat mengetahui hal ini semua ketika eksesnya sudah begitu besar? Inilah pertanyaan yang kita perlu jawab bersama. Mentalitas berpangku tangan, gajian, bahkan menyalahgunakan wewenang sudah saatnya kita upayakan agar tidak “menurun” sebagai sebuah warisan sosial. Sebab, mentalitas kontraproduktif semacam itu, bila kita lanjutkan, justru akan menjadi bumerang berganda bagi bangsa kita sendiri di era globalisasi.

Inilah yang membuat kita perlu kembali melihat Jepang. Jepang dari sisi paradigma berpikir mereka. Paradigma berpikir bahwa sesuatu lebih baik dihasilkan sendiri. Paradigma inilah yang membuat mereka tumbuh menjadi industrialis besar berskala global. Menghasilkan sebuah bangsa produktif tampaknya adalah pekerjaan besar bagi kita. Mengapa? Karena kita membutuhkan revolusi mental dan paradigma kita.

Kita tampaknya perlu melihat, BPS pada 2006  mencatat ada 39,05 juta orang penduduk miskin. Pengangguran berjumlah puluhan juta orang dengan ratusan ribu di antaranya adalah sarjana,coba bayangkan untuk sekarang berapa tuch jumlahnya untuk skarang . Beras raskin adalah sesuatu yang diperebutkan, bukan hanya oleh mereka yang benar-benar miskin tetapi oleh mereka yang sebenarnya mampu secara ekonomi tetapi lemah secara mental.

Kita juga melihat bagaimana praktik penyelenggaraan negara kita dipenuhi oleh para aktor opera sabun yang hanya berpikir pada kepentingan sektoral dan jangka pendek. Kita adalah bangsa yang paling sensitif terhadap perkembangan harga minyak dunia, sehingga sangat mudah membebani anggaran kita untuk hanya berpayah-payah menggelar subsidi yang hasilnya dinikmati oleh para pemilik kendaraan bermotor yang harganya di atas seratus juta. Kita adalah bangsa yang setiap pundak penduduknya menanggung utang rata-rata sebanyak Rp 6 juta.

Pertanyaannya, Inikah Indonesia yang kita wariskan nantinya?

Monday, October 17, 2011

Tip Berburu Membangun Keberanian

Keberanian memang menjadi tuas utama dalam kesuksesan. Termasuk di dalamnya sukses melalui resesi ekonomi kali ini. Tulisan dari sahabat berikut ini semoga mengingatkan kita kembali. Semoga bermanfaat!

Di suatu pagi yang cerah, saya mengawali hari dengan membuka akun surat elektronik. Ada satu pesan dari seorang karib yang menjadi dosen di salah satu universitas di tanahnya Barack Obama. Isinya cukup singkat : memberitakan kepada saya untuk memberitahukan kepada kakak yang tengah berupaya untuk mencari program studi doktoral di negara tersebut. Alasannya jelas : untuk bermukim dalam waktu yang lama, akan menjadi sebuah perjuangan yang berat untuk bisa hidup wajar. Karib yang menjadi profesor tersebut sendiri menceritakan jika di negara tersebut setiap harinya ada berita PHK dan orang-orang mulai bertebaran di jalan untuk mencari pekerjaan.



Kafe dan kedai makan kecil yang selama ini menjadi “surga” bagi para mahasiswa Asia yang menjalani pekerjaan paruh waktu mulai memberlakukan skema prioritas. Para pemilik kafe dan kedai mulai memberikan kesempatan kepada mahasiswa bule atau bahkan para pekerja yang terkena PHK untuk bekerja. Alasan mereka cukup simpel, nasionalisme. Mereka harus mendahulukan saudaranya terlebih dulu, ketimbang harus mempekerjakan mahasiswa Asia.



Kabar yang kembali tidak mengenakkan datang dari kawan yang tengah menyelesaikan pendidikan magister di Sheffield, Inggris Raya. Walaupun Inggris belum menyatakan diri masuk ke dalam resesi ekonomi, tetapi ekses dari itu semua sudah tampak. RBS, salah satu insitusi –keuangan terbesar mereka yang baru saja mengakuisisi ABN-Amro BV mengumumkan akan mengurangi pekerja sebagai konsekuensi akuisisi yang membuat arus kas mereka negatif. Berbagai program penjaminan sosial juga mulai ditinjau ulang untuk mengamankan kas negara dari kebangkrutan bila tiba-tiba badai resesi ekonomi menghantam negerinya Pangeran Charles tersebut.



Berita di beberapa harian terbitan domestik juga mendeskripsikan jika masyarakat di belahan dunia sana tengah berupaya bertahan di tengah gempuran resesi yang diawali dari Wall Street tersebut. Sungguh lengkap kabar kurang menyenangkan tersebut yang datang di pagi hari. Untung roti tawar bakar, susu hangat, dan koneksi internet yang lancar (padahal biasanya membuat sesak napas) membuat pagi hari saya tersebut masih cukup menyenangkan untuk ukuran saya.



Sidang pembaca yang terhormat,



Harus kita akui bersama jika resesi ekonomi global tengah menyapa kita. Bila Indonesia belum terkena dampaknya, dalam pikiran saya, itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Dalam sebuah hegemoni perekonomian yang didukung perkembangan geoekonomi yang masih sentralistik, kita tidak akan bisa menghindari resesi tersebut. Tugas kita bersama hari ini adalah : menyiapkan fundamental kita untuk bisa meminimalisasi dampaknya. Dan, tampaknya kita harus bersyukur memiliki ekonom yang cukup canggih sekaliber Sri Mulyani Indrawati dan Boediono yang kini tengah bertugas menjaga sistem perekonomian kita tetap “kalis krisis” meskipun pemerintahan memasuki masa kritis pra-Pemilu.



Bukan urusan kita memang untuk turut berkerut dahi memikirkan bagaimana harus menstabilkan mata uang kita dan menjaga cadangan devisa. Tugas kita yang menjadi pejuang ekonomi di tataran riil adalah bagaimana menjaga “cash flow” perusahaan tetap dalam kondisi yang sehat dan gaji bulanan karyawan tetap terbayarkan pada waktunya. Bertahan, “wait and see” mungkin itu yang menjadi lagu wajib kita hari-hari ini. Di satu sisi, itu memang betul dan harus dilakukan di saat ini tetapi di sisi yang lain bukan saatnya kita untuk terus bertahan dan mengamati situasi. Inilah momentum kita untuk membangun (kembali) keberanian.



Lho kok? Itu yang diutarakan seorang teman yang bisnisnya baru saja terhantam resesi karena order pernak-perniknya yang sedianya akan dikirimkan ke AS harus tertunda sampai saat yang belum ditentukan. Ya, saya menyampaikan kepada teman yang tengah membuktikan menjadi wirausaha adalah pilihan tepat usai mengenakan toga, ketika dirinya sudah 10 bulan ini terlena dalam kenyamanan karena memiliki order bulanan yang pasti, pasti ada celah yang akan membuat bisnisnya yang baru saja itu membangun sebuah fundamental yang salah. Fundamental bisnis di atas kenyamanan. Mengawali bisnis (termasuk mengembangkannya) dengan kenyamanan adalah musuh. Mengapa musuh? Karena kenyamanan itulah yang membuat kita menjadi tidak kreatif dan dinamis. Ada sebuah pepatah bisnis konservatif : “only the paranoid can will survive!” Bila kita merasa nyaman, sangat susah bagi kita membangun sebuah paranoiditas karena segalanya tersedia dan cukup dipelihara.



Anggukan kepala datang darinya. Bila pasar Barat sedang mengamuk, apakah pasar di Timur Tengah juga mengalami hal yang sama? Apakah pasar dalam negeri juga tidak menyisakan celah yang bisa digarap? Itu baru soal pasar. Soal peningkatan kualitas dan efisiensi kerja juga bisa digarap. Pengurangan order bagaimanapun juga akan membuat kita memikirkan ulang sejauh mana sistem yang selama ini berjalan mampu mendukung operasional usaha yang harus selalu dibangun di atas prinsip efisiensi. Apakah kita sudah terlalu percaya diri untuk tidak menyisihkan sebagian laba sebagai laba ditahan? Ya, hal tersebut yang hanya akan datang ketika kondisi krisis datang menghantam operasional usaha kita.



Di sisi yang lain, dengan kenyamanan yang sudah terbangun beberapa saat, kita juga mungkin tersadar jika membaca (bukan hanya buku tentu saja!) adalah medium untuk tetap menjaga kita “keep on track” dan menambah kapasitas pribadi kita sebagai seorang wirausaha. Ketika order tiba-tiba menghilang dan kita terpikir untuk membuat sebuah terobosan, membaca dalam artian luas tentu saja harus dilakukan agar produk / inovasi yang kita lakukan tidak salah sasaran. Membaca, bagaimanapun juga akan membuat kapasitas kita semakin meningkat. Ini adalah hikmat dari pembelajaran yang dilakukan di sekolah kehidupan.



Ada sebuah teladan yang saya dapat dari orang yang sudah mengajarkan banyak hal kepada saya. Ketika semuanya menuju ke hal-hal yang kurang positif, itu adalah saatnya membenamkan diri ke banyak hal. Hari-hari belakangan, waktunya dihabiskan untuk membangun sebuah obsesi baru. Perjalanan luar kota yang masif, jadwal yang padat merayap, dan sederet aktivitas tengah dilakukannya.



Bagi saya, hal tersebut adalah sebentuk optimisme yang tetap terpancar. Optimisme yang terbangun justru di saat banyak orang mulai menjadi pesimis. Ada satu hal yang tengah saya pelajari terus : keinginannya untuk bergerak terus mengoptimalkan suatu hal adalah mutlak dilakukannya di waktu orang lain belum menyadarinya. Sehingga ketika banyak orang sudah menyadari suatu hal itu bermanfaat secara optimal, kita yang sudah siap dengan pemahaman komprehensif sudah bisa melangkah dalam kecepatan bergerak yang tinggi. Hasilnya, apa lagi jika ancaman untuk sukses! Jika obsesinya kali ini berhasil, di saat orang lain tengah berkarya untuk berproduksi, dirinya menargetkan sudah mampu menggaet klien potensial dan jangka panjang untuk menjaga kontinuitas usaha.



Nah, intinya kembali lagi pada keberanian kita. Beranikah kita untuk tetap bergerak? Bertahan memang pilihan tepat, tetapi bukan yang terbaik. Ketika kita tetap berani bergerak, ada sebuah kehidupan yang menghampiri kita. Ya, kehidupan memang harus diupayakan karena dia tidak hanya sekadar hidup: bernapas, makan-minum, dan membuang hajat. Berani untuk belajar, berani untuk berinovasi, dan berani untuk mengevaluasi diri. Beranikah kita? Ingat, berani bermimpi adalah langkah awal menuju sukses tetapi berani bergerak adalah hal yang membuat segalanya menjadi nyata. Selamat memantikkan kembali keberanian!

Tip Berburu Dari Pakar Bisnis

Kecepatan mengambil tindakan didahului dengan rencana yang baik serta kerjasama team yang kompak bisa melakukan sesuatu yang dirasa tidak mungkin.
Beberapa tahun yang lalu di Amerika Serikat terjadi pemogokan buruh pelabuhan yang melibatkan lebih dari 10000 buruh pelabuhan selama 10 hari yang mengakibatkan 29 pelabuhan dipantai barat Amerika dari Los Angeles sampai Seattle ditutup. Akibat dari kejadian ini membawa dampak sangat besar terutama bagi perusahaan yang sangat ketat menerapkan Supply Chain Management dengan sistem “just in time”, Manajemen Tepat Waktu, seperti Dell komputer yang dikenal sebagai salah satu penyedia PC terbesar didunia.

Para Pakar analisa bisnis memperkirakan dengan kejadian ini Dell akan mengalami masalah dengan 2 pabrik perakitan komputernya yang mengandalkan spare part yang dikirim dari beberapa negara karena Dell menerapkan sistem tidak adanya gudang penyimpanan untuk CPU board, hard disk dan sebagainya, semua mengandalkan sistem “JIT” … nah apa yang dilakukan oleh Dell untuk mengatasinya?, menarik untuk dicermati dan dipelajari.

Dick Hunter, saat itu bos yang bertanggung jawab terhadap supply chain dari spare parts Dell langsung memutuskan mereka “HARUS” bertindak lebih cepat dari pesaingnya dan “TIDAK” bisa memberikan toleransi terhadap semua keterlambatan pengiriman.

Dick lalu membentuk team yang terdiri dari 10 orang logistic specialis dan team ini diberi nama “Tiger Team” dengan tugas utama melakukan koordinasi pengiriman dari Taiwan, China dan Malaysia dimana part komputer itu dibuat serta serta menghubungi jaringan freight forwarder untuk contigency plan .. mereka langsung booking 18 pesawat Boeing 747 dari UPS, Northwest Airlines, China Airlines dan beberapa perusahaan yang lain, satu pesawat Boeing 747 bisa memuat 10 container yang cukup untuk produksi 10.000 PC … artinya mereka mempersiapkan penyediaan part yang cukup untuk memproduksi 180.000 PC.

Tindakan Dell ini sangat cepat, saat para perusahaan courier service ini memanfaatkan situasi yang terjadi dengan permintaan yang meningkat untuk pengiriman barang lalu menaikan harga menjadi USD 1.1 juta untuk satu kali trip dari Asia ke West Coast, Dell “hanya” membayar USD 500.000,- saja karena deal dilakukan pada saat awal kejadian, bayangkan berapa penghematan yang dilakukan … 18 x USD 600.000,- jumlah uang yang besar yang bisa dihemat karena memanfaatkan keunggulan waktu …
Satu lagi yang diminta Dell yaitu delivery parts ini dari Shanghai dan Taipei bolak balik ke Bandara di Amerika terdekat dengan factory nya yang berlokasi di Austin dan Nasville hanya diperbolehkan maksimum 33 jam saja, artinya pengaturan waktu loading, reloading, isi bahan bakar pesawat dimontor dengan sangat ketat untuk menekan cost dan waktu … hebat banget … karena pengalaman saya terbang dari Hongkong ke LA saja sekitar 10 jam …

Yang menarik lagi adalah pengaturan para petugas Logistik di lapangan bekerjasama dengan freight specialist disetiap bandara di Asia yang menggunakan carrier service yang bercampur dengan barang perusahaan lain selalu berusaha memasukan parts Dell ke pesawat yang paling akhir sehingga bisa keluar duluan disetiap bandara tujuan di Amerika “last in first out” bahasa kerennya … kerja team yang sangat padu dan lihay sekali.

Akhirnya Dell berhasil melakukan sesuatu yang sangat mustahil dikerjakan menurut analisa pengamat, walau ada pemogokan, mereka bisa tetap berproduksi dan punya stock parts untuk 72 jam inventory level dan TIDAK SATUPUN order pelanggannya terlambat.

Kita boleh berpikir itu khan di Amerika mas, yang sistemnya sudah canggih … oooh bukan begitu, ini koordinasi antara “quick action”, “smart plan”, “best team work” serta “Customer Satisfaction”. Kalau dilihat prosesnya, ternyata mereka harus memecahkan dan mengendalikan semua problem yang timbul dari beberapa negara, seperti beda waktu, beda bahasa, cara pola kerja dan sebagainya tetapi mereka berpikir sama “kita tidak sendiri” dalam mengatasi setiap masalah yang timbul, merasa bahwa kita mempunyai masalah yang sama dan harus dipecahkan bersama … kita bisa belajar dari pengalaman ini.

Tip BerburuTentang Pembangun Watak Bisnis


Umum


Entrepreneurship itu bakat? Ataukah dapat dipelajari?

Bulan lalu dalam sebuah seminar tentang pedidikan di sebua perguruan tinggi swasta disebutkan bahwa pembangunan karakter adalah merupakan langkah awal agar kita bisa menjadi entrepreneur yang handal.

Pembangunan karakter ini bisa dilakukan dengan konsep:


Self awareness atau pengenalan diri.

Dalam alquran disebutkan “barang siapa yang mengenali dirinya maka ia mengenali Tuhan nya”

Artinya setiap kita dapat mendefinikan dengan baik semua potensi-potensi dan kemudian merubahnya menjadi energi positif untuk selalu memperoleh ide dan gagasan unik.

Kreatif

Kreatifitas adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang serta merta terjadi dengan sendirinya. Setiap kita harus berani belajar

Keativitas pada prinsipnya merupakan kemampuan seseorang dalam membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur- unsur yang ada

Mampu berpikir kritis

Berfikir dengan sudut pandang yang berbeda adalah konsep ideal, melihat segala sesuatu dengan berbagai dimensi. Maka tidak ada istilah buntu.

Mampu memecahkan masalah

Istilah populernya adalah problem solving. Masalah timbul karena ada sebabnya. Dan positinya adalah, masalah itu timbul setelah sesuatu itu dilakukan.

Perubahan paradigma sebagai solusi, kita eharusnya memandang masalah bukan sesuatu hambatan yang akan menggagalkan ide kita tetapi merupakan tantangan yang harus dihadapi.

Penanaman jiwa entrepreneurship sejak usia dini

Jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship dapat dibina atau ditanamkan sejak usia dini.

Pakar kepribadian dan Presiden Direktur Lembaga Pendidikan Duta Bangsa Mien Rachman Uno mengatakan, untuk menjadi wirausahawan andal, dibutuhkan karakter seperti kemampuan untuk dapat berkomunikasi, mampu membawa diri di berbagai lingkungan, menghargai waktu (time orientation), empati, mau berbagi dengan orang lain, mampu mengatasi stres, dapat mengendalikan emosi, dan mampu membuat keputusan.

Dalam proses pendidikan yang baik beberapa hal diatas akan menjadi semacam kurikulum wajib. Ini penting sebagai panduan bagi orang tua untuk dapat memulai penanaman jiwa entrepreneur.

Sekolah yang baik tentunya sudah mengakomodir konsep ini dalam pelaksanaan kependidikan di sekolah.

“Berbagai karakter tersebut dapat dibentuk melalui pendidikan sejak dini. mendidik anak menjadi seorang wirausahawan tidak dalam hitungan satu, dua, dan tiga bulan saja, melainkan harus menjadi sebuah proses yang panjang da sistematis” ujarnya

Dalam proses tersebut tentunya , orangtua juga perlu mengambil peranan. Pendidikan akan lebih baik jika dtunjang oleh lingkungan keluarga.

Sri Suliyanti seorang pakar pendidikan dari komunitas home schooling Indonesia menyarankan agar orangtua dapat melakukan supervisi kepada anaknya dengan memberikan contoh yang baik dan menjaga agar ucapan sama dengan tindakan. Selain itu, orangtua ikut memotivasi anak, mengevaluasi mereka, dan memberikan apresiasi atas kerja keras anak.

“Paradigma pemenuhan hak anak agar menjadi anak yang merdeka adalah dengan memberikan pendidikan yang bersifat ‘life skil’l dan salah satunya adalah pendidikan kewira usahaan atau entrepreneurship” katanya (Nur Adi Setyo/dari berbagai sumber)

Tip Berburu Rejeki Besar

Membuka usaha sampingan biasanya merupakan cara yang cukup baik untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan membuka usaha sampingan, pertama-tama mungkin harus terlibat penuh didalamnya. Tapi lama kelamaan, bila usaha itu sudah besar, bisa diserahkan pengelolaannya pada orang lain, sehingga bisa punya lebih banyak waktu dan pemasukanpun dapat terus berjalan.

Bandingkan dengan apabila bekerja pada orang lain dan bekerja sendiri dengan mengandalkan keahlian. Bekerja pada orang lain jelas harus mengikuti jam kerja yang disyaratkan. Sedangkan bekerja sendiri dengan mengandalkan keahlian, biasanya bisa menentukan waktu kerja sendiri, tapi tetap saja kedua-duanya akan membuat sibuk .

PENGHASILAN BISA BESAR
Jangan salah kira, usaha sampingan, apabila dijalankan dengan sungguh-sungguh bisa memberikan hasil yang sama bahkan lebih besar dibanding bila bekerja dan mendapatkan gaji.

Sebagai contoh:

Tukang sate yang berjualan di dekat rumah kita. Setiap hari, dari jam 17.00 – 24.00 (7 jam kerja), ia bisa menjual sekitar 250 tusuk sate ayam. Kalau satu tusuk dihargai Rp 400, maka ini berarti ia mendapatkan Rp 100 ribu sehari. Dalam sebulan, ia bisa bekerja sekitar 25 hari. Ini berarti pemasukannya sebulan mencapai Rp 2,5 juta. Apakah kita pernah tanya berapa sih keuntungannya dari Rp 2,5 juta itu? Dia bilang sekitar 60 persen. Ini berarti keuntungannya adalah Rp 1,5 juta setiap bulan. Itu belum termasuk keuntungan dari penjualan lontongnya.

Tentu saja kita tidak harus jadi penjual sate bila kita memang tidak mau. Kita bisa membuka usaha lain yang mungkin lebih kita kuasai seluk-beluknya. Prinsipnya di sini adalah apa pun usahanya, kalau kita jalankan dengan serius, maka hasilnya akan besar.

Pada awalnya yang namanya usaha mungkin tidak akan selalu berjalan lancar. Penghasilannya mungkin belum seberapa. Itu karena usaha kita mungkin belum dikenal orang banyak. Namanya juga masih baru. Lama kelamaan, seiring dengan makin dikenalnya usaha kita, usaha kita pasti akan mulai berkembang, sehingga hasil yang kita dapatkan juga akan makin besar.

Tukang sate tadi misalnya.

Pertama kali ia membawa dagangannya, orang mungkin masih ragu-ragu untuk mencoba satenya, karena orang baru pertama kali melihat tukang sate ini. Tapi lama kelamaan, orang mulai memesan satenya, dan akhirnya orang ini identik dengan sate. Setiap kali ia lewat di depan rumah kita, kita langsung teringat akan satenya. Itu bukti bahwa usaha apa pun membutuhkan pengenalan.

Orang harus kenal lebih dulu dengan usaha kita, apa pun usaha itu. Entah toko, entah restoran kecil, entah usaha jahitan atau bisnis online. Mungkin pengenalannya makan waktu satu tahun, dua tahun, atau mungkin hanya beberapa bulan, tergantung bagaimana promosi kita. Setelah kenal, barulah selebihnya tergantung pada kualitas produk kita. Bila sekali saja konsumen tak suka, seterusnya mereka kapok membeli produk kita. Apa pun jenisnya.
Karena itu, kita juga harus menjaga kualitas produk agar sesuai keinginan konsumen.

TIDAK HARUS MENINGGALKAN PEKERJAAN
Siapa bilang bahwa kita harus meninggalkan pekerjaan tetap sekarang bila kita mau menjalankan usaha sampingan? Kita tidak harus meninggalkan pekerjaan tetap kita sementara akan menjalankan usaha sampingan.

Hitung-hitung, kita nantinya akan punya pendapatan yang dobel bukan?

Pertama-tama, mungkin pendapatan usaha sampingan kita masih jauh lebih kecil dibanding gaji dari pekerjaan kita sekarang. Tetapi lama-lama, seiring dengan makin dikenalnya usaha kita dan makin maju, maka pendapatan usaha kita akan meningkat dan bahkan bisa menyamai gaji kita sekarang. Kemudian, siapa tahu juga bisa meningkat lagi dan melebihi gaji kita sekarang.

Sehingga pada kondisi ini, kita memiliki pilihan apakah akan mempertahankan kedua pendapatan, atau meninggalkan pekerjaan tetap kita dan terjun total 100 persen ke dalam usaha sampingan kita dengan harapan agar penghasilan dari usaha kita bisa makin besar.

Bagi yang menjadi ibu rumah tangga dan hanya suami yang bekerja, mungkin bisa lebih enak lagi. Dapat merintis usaha sampingan, sementara suami tetap mendapatkan gaji dari pekerjaannya.

Bukan begitu?

SIAP MELUANGKAN WAKTU
Kalau kita menjalankan usaha sambil masih tetap bekerja, maka kita harus siap meluangkan waktu. Bagi yang menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga, harus siap menyisihkan sekitar mungkin 4 jam setiap hari untuk mengurus usaha. Bagi yang juga bekerja di kantor, mungkin harus siap menjalankan usaha pada malam hari.

Terserah kita.

Yang jelas, kita harus memiliki komitmen untuk mau menjalankan usaha, dan jangan kaget kalau nanti akan lebih capek dari biasanya. Ini wajar, karena menjalankan dua pekerjaan sekaligus.

Tapi apa yang membuat kita mau lebih capek dari biasanya?

Apa yang membuat kita mau repot-repot menjalankan usaha kita?

Ini karena kita ingin agar usaha sampingan kita bisa berkembang kelak dan pengelolaannya bisa kita serahkan ke orang lain sehingga kita bisa punya lebih banyak waktu untuk santai bersama keluarga kelak sementara tetap mendapatkan penghasilan.

Jadi, kita investasi waktu (mau lebih sibuk) sekarang, dengan harapan agar kita mendapatkan waktu yang lebih banyak kelak.

Jadi, sesibuk apa pun sekarang, kenapa kita tidak luangkan waktu untuk merintis sebuah usaha?

PERLU DUKUNGAN KELUARGA
Minta dukungan dari keluarga kita. Kalau perlu, ajak untuk ikut membantu. Libatkan dari awal. Dengan demikian, keluarga bisa ikut berperan dalam usaha sampingan. Dukungan keluarga itu penting. Banyak usaha rumahan yang gagal karena tidak adanya dukungan keluarga.

Bukan berarti kita tidak akan berhasil dalam usaha sampingan bila tidak didukung keluarga, tapi memang akan sangat membantu kalau keluarga kita ikut mendukung usaha. Kalau perlu, jangan katakan bahwa ini adalah usaha kita. Katakan bahwa ini adalah usaha keluarga. Kelak kalau usaha ini besar, keluarga kita bisa ikut terlibat di dalamnya.

Bukankah akan mengasyikkan bila keluarga bekerja bersama membangun usaha keluarga?

TIDAK HARUS SEKOLAH TINGGI
Apakah kita adalah salah satu dari mereka yang tidak mengenyam sekolah tinggi? Apakah kita cuma lulusan SMP? Apakah kita cuma lulusan SMEA? Atau apakah kita sama sekali tidak pernah sekolah dan hanya punya pengalaman?

Kita tidak harus mengenyam sekolah tinggi lebih dulu untuk bisa membuka usaha dan berhasil dalam usaha. Kita sudah sering mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ada banyak orang berhasil dalam membangun usahanya dari nol, meski tidak memiliki pendidikan tinggi..

Apa resepnya sehingga bisa berhasil?

Ketekunan dan motivasi untuk bisa berhasil. Yang lebih penting, walaupun tidak sekolah tinggi mau belajar. Belajar tidak harus ditempuh dengan sekolah. Kita bisa belajar dari pengalaman sendiri, dari buku, dan dari pengalaman orang lain (baik keberhasilan maupun kegagalannya). Satu lagi, kita mau memulai usaha dari kecil lebih dulu, sebelum lama-lama usaha itu menjadi besar.

Percayalah, kita punya kesempatan yang sama dengan mereka yang sudah berhasil untuk bisa berhasil, walaupun kita tidak memiliki pendidikan tinggi sekalipun.

Jadi tunggu apa lagi?

Tip Berburu Tipe Bisnis


Minum susu jahe dengan beberapa teman di “angkringan” sony bowo di jalan Jendral AYani Magelang sangat menyenangkan dan suasana juga santai.
Bicara dengan teman-teman para pelaku bisnis secara langsung seperti pedagang HP, asesori komputer, gadget, kamera dan sebagainya kadang merambah kearea yang tidak ada hubungannya dengan bisnis dan disitu menariknya, bicara mengenai kehidupan serta tujuan hidup.

Beberapa waktu yang saya mendapat pencerahan dari dua cara perlakuan bisnis yang berbeda yang ada disekitar kita justru dari pelaku bisnis yang sangat sederhana  yang justru berhadapan langsung dengan pelanggan kita.

Kejadian pertama saya yakin banyak diantara kita pernah mengalami, disebuah Pengajian Annajach koripan Magelang suatu pagi saya iseng beli koran tuk dudukan dan uang yang saya berikan memang harusnya ada kembalian Rp.500,- tetapi saya ikhlaskan, maunya “memberi” kepenjual koran dan saat itu aku langsung jalan aja setelah terima lembaran korannya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya dari yang saya pikirkan, sipenjual koran tersebut malah ngotot mengejar  saya di keramaian orang dan ngotot tidak mau menerima kelebihan Rp.500,- tersebut.
Saya dengan terpaksa ya menerima  lagi uang tersebut, walah mau berbuat baik malah ditolak padahal kan Rp. 500,- tambahan itu margin bersih lho. Terus saya tanya namanya, dengan dialek jawa: sopo jenenge mas? dia jawab :" Zamroni" ternuwun mas, kulo bade sadean malih..sekecak aken ingkang ngaos...monggo

Kejadian kedua ya saat lagi makan soto , karena pembicaraan bisnis lagi mulai “panas” dan kemudian teringat ada pesanan gorengan dari anak saya, saya sempatkan 1 menit pesan sambil pikiran masih terlibat dalam diskusi.

Disini pencerahan itu muncul, karena harganya pakai angka hoki “1100”/ 3 gorengan, yatu tempe, bakwan ma pisang waktu bayar ditanya bakulnya, “bapak punya uang Rp.100” [kuberikan pada bakulnya uang 2000], maksud dia supaya kembaliannya kesaya pas Rp1000, saat saya bilang “nggak ada” maka dengan tenangnya si bakul memberi kembalian Rp.500 tanpa memikirkan saya dirugikan Rp.400 yang di “terima” dari saya dan sengaja mengambil margin maksa …maksudnya saya merasa punya piutang 400 tuk balik lagi ke warung soto ato saya mnghadapi pilihan tuk membelanjakan sisanya 400  trsebut , yah karena saat itu lagi diskusi topik yang “hot” saya langsung terima dan segera kembali kemeja diskusi …

Sungguh saya mendapat pencerahan tipe bisnis mana yang saya mau ambil dari kejadian kecil tersebut dan saya tahu yang mana punya bakat jadi entrepreneur dan mana yang bakatnya jadi hanya jadi pekerja.

Tip Berburu Sebuah Arti Pendekatan Masalah

Dua pendekatan dalam melihat suatu masalah
Dalam pengalaman saya bekerja dan berinteraksi dengan banyak orang, saya amati ada dua tipe orang dalam menghadapi masalah atau problem, baik di pekerjaan maupun kehidupan sosial. Dua tipe ini adalah reactive (bereaksi begitu masalah datang) dan receptive (mau menerima masalah).

Pendekatan Reactive

Mereka yang reactive biasanya melihat suatu masalah sebagai ancaman. Entah ancaman terhadap karirnya, bisnisnya, keluarganya, dan sebagainya. Dalam kelompok ini Anda mencari solusi terhadap masalah dengan menggunakan pendekatan logis dan tradisional. Ciri-cirinya:

* Begitu masalah datang Anda cenderung segera mencari cara apapun untuk mengatasinya.
* Masalah dilihat sebagai faktor penghambat perkembangan diri.
* Anda akan segera menyusun strategi untuk menghadapi masalah
* Karena masalah dilihat sebagai ancaman, dia akan mendominasi pikiran dan cenderung menyebabkan kecemasan dan stress.

Apabila Anda bekerja di perusahaan, barangkali Anda pernah diminta untuk memimpin suatu proyek dimana Anda bertanggung jawab untuk mencapai target tertentu. Disini Anda dihadapkan dengan situasi yang membutuhkan analisa, justifikasi, dan pemikiran logis dalan menghadapi tantangan atau masalah yang muncul. Anda akan berada dalam kondisi tertekan untuk memenuhi deadline. Bisa ditebak, Anda akan cenderung menggunakan pendekatan reaktif dalam menyelesaikan persoalan.

Pendekatan Receptive

Pendekatan ini biasanya dipraktekkan oleh mereka yang sudah menyadari bahwa masalah bukanlah ancaman tetapi justru konsekuensi yang timbul dari suatu kondisi yang kita ciptakan. Oleh karena itu kita mempunyai kekuatan untuk mengubah kondisi tersebut dari dalam diri sendiri. Anda mau menerima masalah dan pada saat yang sama membuat solusinya.Ciri-cirinya:

Ketika masalah datang, Anda mengenalinya dan menggunakan pendekatan:

* Masalah merupakan kebalikan dari solusi. Ketika masalah muncul, Anda percaya saat itu juga bahwa solusinya sudah ada.
* Anda fokus kepada solusi dari persoalan yang timbul, bukan pada penyebab dari masalah itu. Dengan demikian Anda mengambil alih kontrol dari dalam diri Anda sendiri, bukannya dikendalikan oleh keadaan di luar.
* Masalah merupakan kesempatan untuk pengembangan diri. Anda melihatnya sebagai peluang untuk meciptakan realitas positif dalam hidup Anda.

Mau menerima masalah bukan berarti berdiam diri. Anda tidak ”kebakaran jenggot” tetapi mengenali masalah itu dengan tenang dan membuat diri Anda responsif terhadap semua yang Anda perlukan untuk mengundang solusi.

Contoh yang paling sederhana adalah ketika pasangan yang Anda cintai (misalnya istri, suami, atau pacar) sedang ngambek karena masalah sepele. Dengan pendekatan reactive, Anda hanya akan memperburuk keadaan dengan bertanya-tanya kenapa dia harus ngambek, menganalisa penyebabnya dan merasa kondisi ini akan mengancam keharmonisan hubungan Anda dengannya. Bukannya solusi yang didapat tetapi justru kecemasan dan kekhawatiran.

Dengan pendekatan receptive, Anda menerima dan menyadari bahwa pasangan Anda sedang marah. Anda fokuskan energi Anda untuk menciptakan kasih sayang yang pada dasarnya merupakan lawan dari kemarahan. Anda tidak larut terbawa suasana – mencoba mencari jawaban dari analisa kenapa dia jadi marah – tetapi mengambil alih kendali dari dalam diri sendiri, tetap berpikir tenang, dan menunjukan sikap positif dalam perilaku Anda. Anda akan rasakan bahwa berada dalam situasi ini justru membuat diri Anda berkembang. Anda membuat kualitas positif dari diri Anda muncul ke permukaan dan sudah menjadi hukum alam dengan bersikap seperti ini pasangan Anda niscaya akan berubah dari marah menjadi cinta.

Pendekatan receptive ini bisa Anda praktekkan di kehidupan bisnis, rumah tangga, dan sosial. Intinya Anda membangun keyakinan bahwa masalah tidaklah nyata sehingga Anda tidak merasa terbebani. Latih diri Anda untuk tidak reaktif ketika suatu masalah muncul. Fokuskan diri Anda pada lawan dari masalah, yaitu solusi, untuk menemukan kendali dan bukannya larut dalam masalah itu.